Senin, 11 Oktober 2010

RMS Menagih Janji Tiada Henti

RMS Menagih Janji Tiada Henti  
Eddi Santosa - detikNews


getty images
Den Haag - Mereka dijanjikan kemerdekaan Maluku oleh pemerintah Belanda. Karena itu, mereka bersedia eksodus ke Negeri Belanda. Tapi tak hanya janji yang diingkari, mereka juga ditelantarkan. Kekerasan pernah jadi senjata, tapi kini generasi kedua berubah haluan.

Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) dalam pengasingan, faktanya ada tapi tiada. Mereka memilih presiden dan menyusun kabinet tiap 5 tahun sekali, memperingati HUT tiap 25/4, tapi eksistensinya oleh pemerintah Belanda menurut versi resmi tidak diakui. Belanda tidak mau mengorbankan hubungan baik dan tentu saja kepentingan ekonomi yang lebih besar dengan Indonesia. Sementara bagi Indonesia, integritas wilayah dan kedaulatan tak bisa ditawar. Sudah harga mati.

"Nasib kami dibiarkan begitu saja. Secara umum pemerintah Belanda sangat tidak peduli," keluh John Wattilete di harian Reformatorisch Dagblad, (26/6/2009) silam. 

Sikap pemerintah Belanda yang habis manis sepah dibuang itu, membuat masyarakat RMS jengkel. Mereka sebagai pasukan KNIL merasa telah banyak berjasa dan sangat setia kepada kerajaan. Mereka juga patuh ketika diperintah untuk eksodus ke Negeri Belanda dengan janji akan segera kembali ke Maluku dengan negara sendiri. Sesampai di Negeri Belanda mereka hanya tinggal di kamp-kamp mengenaskan tidak sesuai impian, juga tidak boleh bekerja, sehingga mereka secara ekonomi makin mundur. 

Kejengkelan terhadap kerajaan dan perlawanan demi idealisme warisan Soumokil mendorong munculnya radikalisme di kalangan RMS di Negeri Belanda. Pada 26 Juli 1966, mereka membakar KBRI Den Haag, sebagai aksi pembalasan atas eksekusi mati terhadap Dr Soumokil. Pada musim semi 1975 mereka beraksi untuk menyandera Ratu Juniana, namun aksi tersebut gagal.

Menjelang kunjungan Presiden Soeharto, yang direncanakan selama tiga hari, mereka menyerang dan menduduki Wisma Duta di Wassenaar pada 29 Agustus 1975. Tahun yang sama, tepatnya pada 2-14 Desember 1975, mereka membajak kereta dekat kota Wijster. Pada saat bersamaan pada 4 Desember 1975, mereka beraksi menduduki Konsul Jenderal RI di Amsterdam.

Pada 23 Mei 1977, mereka membajak kereta api dekat kota De Punt dan pada saat bersamaan menduduki serta menyandera sebuah sekolah di Bovensmilde. Setelah kereta dan seluruh penumpanganya dibajak selama 20 hari, mereka diserbu pasukan marinir Belanda pada 11 Juni 1977. Tercatat dua orang penyandera dan satu penumpang tewas.

Aksi bersenjata yang terakhir dilakukan RMS adalah menyerang gedung provinsi Assen pada 13 Maret 1978 silam. Di hari pertama, mereka langsung menembak mati seorang ambtenaar. Di hari kedua seorang ambtenaar lagi ditembak. Aksi mereka dihentikan dengan serbuan pasukan gabungan polisi dan tentara Belanda.

Deretan aksi kekerasan itu meninggalkan memori buruk di kalangan masyarakat Belanda, yang membuat kontraproduktif bagi idealisme RMS dan semakin menjauhkan dari simpati. Di tangan presiden generasi kedua John Wattilete, yang juga seorang advokat, cara-cara lama itu ditinggalkan. 

Wattilete memanfaatkan media untuk menarik perhatian bagi perjuangan RMS. "Yang lebih berhak merasa terusik kehormatannya itu rakyat Maluku. Mereka bukan hanya terhina, tapi ternista," ujar Wattilete ketika ditanya pers apa tanggapannya atas keputusan presiden SBY membatalkan kunjungan karena merasa terusik kehormatannya.

Wattilete adalah generasi kedua RMS yang lahir di Negeri Belanda. Presiden-presiden RMS sebelumnya dari generasi pertama, mulai dari Dr Chr RS Soumokil, Johan Manusama, dan Frans Tutuhatunewa semua lahir di Maluku. Pentolan RMS lainnya, yakni jurubicara Wim Sopacua juga dari generasi sebaya Wattilete. Sedangkan dari generasi belia ada nama Joram Tentua dari Perintis Aksi Kilat (PAK), yang berbasis di Capelle a/d Ijssel.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Presiden RMS 18 Mei 2010 kemarin, Wattilete menegaskan kembali bahwa dia akan terus menghidupkan cita-cita negara Maluku Merdeka. Ketika Indonesia mengimplementasikan otonomi daerah, Wattilete bersama delegasi anggota kabinet RMS telah dua kali berkunjung ke Indonesia dan membahas intensif dengan Presiden Abdurrahman Wahid mengenai peluang otonomi (NRC Handelsblad, edisi 3/2/2000).

Jalan panjang meneruskan warisan Soumokil itu diakui Wattilete semakin tidak mudah. Untuk menyusun kabinet saja sudah sulit mencari orang yang mau, apalagi tidak ada gaji untuk mereka. "Kami terus berjuang karena ketidakadilan terhadap kami, tapi banyak menyita waktu dan kami tidak menerima gaji. Oleh sebab itu sangat sulit untuk menemukan orang yang mau jadi anggota kabinet," demikian Wattilete.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar